Penggunaan kata diplomasi sudah sering kita dengar, mulai dari percakapan sehari-hari hingga pada tataran hubungan antar negara atau percakapan dalam suatu forum internasional.
Dalam percakapan sehari-hari, orang biasa menggunakan kata diplomasi dengan maksud menyebut seseorang yang memiliki kemampuan bertutur kata yang baik, teratur dan sistematis. Dalam The Advance Learner’s Dictionary of Current English, menguraikan kata diplomasi sebagai “skill in making arrangements” (keterampilan melakukan pengaturan-pengaturan), “cleverness in dealing with peoples so that they remain friendly and willing to help” (kepintaran dalam berurusan dengan orang-orang sehingga mereka tetap bersahabat dan bersedia membantu) dan Yusuf Badri menambahkan bahwa diplomasi bukan hanya willing to help tetapi juga willing to agree (bersedia untuk menyetujui) (dalam Yusuf Badri, 1993: 13). Diplomasi dalam konteks ini juga dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam membujuk atau merayu seseorang untuk mengikuti keinginan yang membujuk. Sedangkan diplomasi di fora internasional dimaknai sebagai pembicaraan formal ataupun formal antara dua atau lebih negara (atau aktor non negara) dalam membicarakan suatu hal yang berkaitan dengan berbagai kepentingannya. Makna ini yang menjadi ulasan dan rujukan di berbagai literatur diplomasi.
Dalam percakapan sehari-hari, orang biasa menggunakan kata diplomasi dengan maksud menyebut seseorang yang memiliki kemampuan bertutur kata yang baik, teratur dan sistematis. Dalam The Advance Learner’s Dictionary of Current English, menguraikan kata diplomasi sebagai “skill in making arrangements” (keterampilan melakukan pengaturan-pengaturan), “cleverness in dealing with peoples so that they remain friendly and willing to help” (kepintaran dalam berurusan dengan orang-orang sehingga mereka tetap bersahabat dan bersedia membantu) dan Yusuf Badri menambahkan bahwa diplomasi bukan hanya willing to help tetapi juga willing to agree (bersedia untuk menyetujui) (dalam Yusuf Badri, 1993: 13). Diplomasi dalam konteks ini juga dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam membujuk atau merayu seseorang untuk mengikuti keinginan yang membujuk. Sedangkan diplomasi di fora internasional dimaknai sebagai pembicaraan formal ataupun formal antara dua atau lebih negara (atau aktor non negara) dalam membicarakan suatu hal yang berkaitan dengan berbagai kepentingannya. Makna ini yang menjadi ulasan dan rujukan di berbagai literatur diplomasi.
Kata diplomasi sendiri berasal dari kata Yunani. SL Roy menyebut kata “diploun” sebagai asal mula kata diplomasi yang berarti “melipat”. Sedangkan Yusuf Badri menyebutkan kata “ziplwma” atau “duplicata” yang berarti “digandakan” atau “dilipat dua”. Menurut Nicholson, “pada masa Kekaisaran Romawi semua paspor, yang melewati jalan milik negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat dan dijahit jadi satu dalam cara yang khas. Surat jalan ini disebut “diplomas”. Selanjutnya kata ini berkembang dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing di luar bangsa Romawi. Karena perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara khusus” (dalam SL Roy, 1993: 1). Oleh karena itu dirasa perlu untuk memperkerjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks, menguraikan dan memeliharanya. Isi surat resmi negara yang dikumpulkan dan disimpan di arsip, yang dimaknai sebagai pelaksanaan politik luar negeri dalam hubungan internasional dikenal pada zaman pertengahan abad XVIII. Menurut Ernest Satow, Burke memaknai kata diplomasi untuk menunjukan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan hubungan internasional dan perundingan di tahun 1796. Orang yang melakukan tugas tersebut dikenal sebagai diplomaticus atau diplomatique atau disebut juga seorang “archivaris”.
Perkembangan arti diplomasi yang berasal dari kata “menggandakan” menjadi pekerjaan seorang archivaris dan kemudian menjadi yang berhubungan dengan pelaksanaan politik luar negeri, bagi sebagai pihak sulit untuk menerima keterkaitan logikanya (Yusuf Badri, 1993: 14). Akar kata diplomasi, “digandakan” atau “dilipat dua”, secara etimologi berkaitan dengan kata duplicity (sengaja menipu), dubois (meragukan) dan semua arti kata yang berarti “bermuka dua”. Seperti orang Bulgaria menyebut “da” (ya) dengan menggelengkan kepalanya. Dengan demikian berdasarkan akar katanya diplomasi lebih mencerminkan “kebohongan”. Pemikiran ini akan sesuai dengan prinsip seorang diplomat yaitu “right or wrong is my country” (benar ataupun salah adalah negara saya). Prinsip ini juga mencerminkan nilai-nilai kebohongan. Namun demikian dengan perkembangan praktek-praktek diplomasi prinsip ini kurang relevan dipertahanan. Oleh karena itu tidak tepat untuk mengatakan bahwa diplomasi identik dengan kebohongan. Francois de Calliares semasa pemerintahan Louis XIV dari Perancis mengemukakan “the use of deceit in diplomacy is by its very nature limited, since there is no curse that come quicker to roost than a lie that has been found out” (penggunaan kebohongan dalam diplomasi pada dasarnya adalah sangat terbatas sekali secara alamiah, karena tidak ada suatu kutukan yang begitu cepat tersebarkan dari suatu kebohongan yang terungkap). Masuknya nilai-nilai kebohongan dalam kamus diplomasi merupakan akibat gurauan Sir Henry Wotton (duta besar raja Inggris, James I untuk Venesia) yang mengemukakan bahwa “An Ambassador is an honest man, sent to lie abroad for the good of his country” (seorang duta besar adalah s eorang yang jujur, dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negerinya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar